Nasib Rumah Ibadah Kaum Minoritas
Garuda Pancasila Dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika |
Hal
yang perlu di garis bawahi dari semboyan tersebut adalah persatuan dan kesatuan
bangsa yang terdiri dari beraneka ragam agama. Secara resmi ada 6 agama yang
diakui pemerintah Indonesia yakni ; Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Khonghucu. Menurut hasil sensus tahun 2010; 87,18% dari 237.641.326
penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69%
Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab
atau tidak ditanyakan. Hasil tersebut menggambarkan secara gamblang mayoritas
penduduk Indonesia ialah pemeluk agama Islam.
Mengerucut pada “Nasib Rumah Ibadah
Kaum Minoritas”. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung RI. Nomor
9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, mengenai syarat pendirian bangunan tempat
Ibadah diantaranya adalah izin dari Departemen Agama, izin yang ditanda tangani
sebanyak 60 warga yang bermukim disekitar tempat pendirian dan harus ada Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), persyaratan yang sedikit kontras dengan UUD 45
(Hukum tertinggi) dalam Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam banyak kasus penyebab
pelarangan, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah diantaranya disebabkan oleh
Izin penggunaan lahan dan bangunan dan issue-issue teknis seperti penyebab
kemacetan, Dsb. Sedikit berbau diskriminasi mengingat rumah ibadah di bangun
untuk umat beribadah, namun beberapa kelompok sosial/ormas maupun warga sekitar
berprasangka jika rumah ibadah di bangun akan mengganggu kenyamanan mereka.
Tidak hanya administrasi yang mempersulit pembangunan rumah ibadah namun juga
diperkeruh dengan hadirnya beberapa ormas yang mengatasnamakan agama ikut serta
dalam pelarangan bahkan ikut ambil bagian juga dalam beberapa kasus pengrusakan
tempat ibadah. Sikap Etnosentrisme ormas tersebut sungguh mencederai kebebasan
beragama yang di atur dalam UUD 45. Sungguh ironis negara yang memiliki
semboyan Bhinneka Tunggal ika namun sikap warganya masih jauh dari menghargai
perbedaan, pemerintah yang seharusnya berperan dan bertanggung jawab demi
terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama seoalah selalu terlambat
mengantisipasi dan mencegah konflik terjadi.
Awal
mula terjadinya perpecahan dan konflik antar umat beragama adalah karena
tiap-tiap individu masih belum bisa menerima perbedaan dan berprasangka buruk
terhadap agama lain, dan pada fakta nya agama minoritaslah yang lebih sering
menjadi korban diskriminasi terutama dalam hal membangun rumah ibadah. Sebagai
suatu kesatuan masyarakat yang majemuk kita harus mampu dan bisa bersikap bijak
dengan menghargai perbedaan serta membuang jauh-jauh sikap etnosentrisme, agar
tercipta kedamaian antar umat beragama di negara kita Indonesia. Dalam pidato Presiden
Soekarno di Surabaya, 24 September 1955. Beliau berkata: “Negara Republik
Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan
milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik
kita semua dari Sabang sampai Merauke!”
Sumber
Comments
Post a Comment