Nasib Rumah Ibadah Kaum Minoritas



Garuda Pancasila Dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika
 Siapa yang tidak pernah mendengar Bhinneka Tunggal Ika? Jika ada diantara kita yang belum pernah mendengar bahkan mengerti apa itu bhinneka tunggal ika. Mungkin perlu di pertanyakan wawasan kebangsaan serta nilai raport mata pelajaran IPS dan PPKN sewaktu di bangku sekolah J. Bhinneka Tunggal Ika  adalah moto/semboyan Negara kita,  Berasal dari bahasa jawa kuno yang seringkali diartikan “berbeda-beda tetapi tetap satu”.  Mengutip situs wikipedia Jika di terjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. 

Hal yang perlu di garis bawahi dari semboyan tersebut adalah persatuan dan kesatuan bangsa yang terdiri dari beraneka ragam agama. Secara resmi ada 6 agama yang diakui pemerintah Indonesia yakni ; Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Menurut hasil sensus tahun 2010; 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Hasil tersebut menggambarkan secara gamblang mayoritas penduduk Indonesia ialah pemeluk agama Islam.

          Mengerucut pada “Nasib Rumah Ibadah Kaum Minoritas”. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama,  Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung RI. Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, mengenai syarat pendirian bangunan tempat Ibadah diantaranya adalah izin dari Departemen Agama, izin yang ditanda tangani sebanyak 60 warga yang bermukim disekitar tempat pendirian dan harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), persyaratan yang sedikit kontras dengan UUD 45 (Hukum tertinggi) dalam Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 

          Dalam banyak kasus penyebab pelarangan, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah diantaranya disebabkan oleh Izin penggunaan lahan dan bangunan dan issue-issue teknis seperti penyebab kemacetan, Dsb. Sedikit berbau diskriminasi mengingat rumah ibadah di bangun untuk umat beribadah, namun beberapa kelompok sosial/ormas maupun warga sekitar berprasangka jika rumah ibadah di bangun akan mengganggu kenyamanan mereka. Tidak hanya administrasi yang mempersulit pembangunan rumah ibadah namun juga diperkeruh dengan hadirnya beberapa ormas yang mengatasnamakan agama ikut serta dalam pelarangan bahkan ikut ambil bagian juga dalam beberapa kasus pengrusakan tempat ibadah. Sikap Etnosentrisme ormas tersebut sungguh mencederai kebebasan beragama yang di atur dalam UUD 45. Sungguh ironis negara yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal ika namun sikap warganya masih jauh dari menghargai perbedaan, pemerintah yang seharusnya berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama seoalah selalu terlambat mengantisipasi dan mencegah konflik terjadi. 

Awal mula terjadinya perpecahan dan konflik antar umat beragama adalah karena tiap-tiap individu masih belum bisa menerima perbedaan dan berprasangka buruk terhadap agama lain, dan pada fakta nya agama minoritaslah yang lebih sering menjadi korban diskriminasi terutama dalam hal membangun rumah ibadah. Sebagai suatu kesatuan masyarakat yang majemuk kita harus mampu dan bisa bersikap bijak dengan menghargai perbedaan serta membuang jauh-jauh sikap etnosentrisme, agar tercipta kedamaian antar umat beragama di negara kita Indonesia. Dalam pidato Presiden Soekarno di Surabaya, 24 September 1955. Beliau berkata: “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”
Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
http://sp2010.bps.go.id

Comments

Popular posts from this blog

Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Kemiskinan

HAK DAN KEWAJIBAN

DEMOKRASI